“Habitus” Bertanya
“ Bertanya dan teruslah bertanya , tentang apapun di sekelilingmu, juga tentang dirimu ! ”
Itulah petuah YB Mangunwijaya ( Romo Mangun ) - 10 February 2009 kemarin genap 10 tahun meninggal – kepada siswa siswi SD MAngunan , Sleman , Yogyakarta .
Pelajaran unik pun dijalankan di SD eksperimen itu selain seni music , yakni pelajaran bertanya .
Para siswa boleh bertanya tentang apapun . Mereka dilatih berpikir dengan menyusun pertanyaan yang cerdas-esensial dalam suasana nalar dan budi polos –merdeka . Melalui berbagai pertanyaan yang di rumuskan sendiri , mereka di ajak berimajinasi , melintasi aneka pengalaman individual , lalu bersama sama menemukan rahasia alam dan kehidupan .
Romo Mangun ( 1929-1999 ) meninggalkan karya karya monumental di bidang sastra dan arsitektur . Namun warisan lain yang tidak boleh dilupakan : habitus bertanya . Apakah daya kalimat Tanya ? Sedemikian pentingkah habitus bertanya ?
Daya komunikasi
Secara sintaktis , kalimat Tanya ( interogatif ) memiliki struktur dan intonasi yang membedakannya dari kalimat berita ( deklaratif ) dan kalimat perintah ( imperative ) . Namun , secara pragmatis dalam komunikasi empiris , kalimat tanya memiliki daya komunikasi yang mengantar mengemban sejumlah fungsi .
Pertama , kalimat tanya memantik komunikasi . Bermula dari sebuah pertanyaan , terjadilah komunikasi verbal , panjang atau pendek , lisan maupun tulisan , serius atau santai , ringan maupun berbobot . Di atas fondasi komunikasi , dapat di bangun budaya dialog yang syukur-syukur terbuka dan tulus . Komunikasi dan dialog amat di perlukan mulai dari ranah antar-individu , keluarga , korporasi , Negara , hingga “kampung” global-mondial .
Kedua , kalimat tanya memuat empati . Ada perhatian dan kepedulian penanya yang bermuara pada terciptanya relasi . Di dalamnya termasuk basa basi yang oleh Malinowski di cakup konsep komunikasi fatis ( phatic communion ) . Komunikasi fatis adalah penggunaan bahasa yang tidak berorientasi pada isi pembicaraan , tetapi demi mewujudkan relasi social . Jika diracik sesuai takaran , basa basi merupakan bumbu harmoni social .
Ketiga , kalimat tanya etis dan estetis . Meski bermodus interogatif , kalimat tanya berkekuatan imperative . Perintah dapat dikemukakan dengan kalimat tanya . Ucapan guru “ Siapa yang piket ambil kapur ? ” , adalah perintah bukan pertanyaan . dibandingkan kalimat perintah “ Ambilkan kapur ” , kalimat tanya terasa lebih etis dan estetis . Menurut Deborah Tannen , tuturan tidak langsung ( indirect speech ) semacam itu memang kurang lugas , tetapi sopan , solider , dan berselera seni ketimbang tuturan langsung ( direct speech ) yang terasa menonjolkan kekuasaan .
Daya nalar
Lebih dari sekedar berdaya komunikasi , kalimat tanya juga memiliki daya nalar . Naluri bertanya merupakan kekhasan manusia sebagai makhluk berpikir . Aktivitas berpikir secara inisial dan orisinal berwujud pertanyaan . Dengan bertanya , manusia berpikir . Pertanyaan Rene Descartes “ Aku berpikir maka aku ada ” ( Cogito ergo sum ) merupakan ungkapan senada dari “ Aku bertanya maka aku ada ” .
Dengan bertanya , manusia meng-ada .
Habitus bertanya sudah mentradisi jauh sebelum masa Descartes ( 1596-1650 ) . Plato , Socrates , Aristoteles , dan para filsuf awal telah menggumuli berbagai pertanyaan ontologis , fenomenologis , epistemologis , hingga aksiologis sejak lebih dari 2.000 tahun lalu . Berkat pertanyaan pertanyaan nakal-eksistensialnya , ilmu pengetahuan berkembang dan peradaban manusia tinggi menjulang .
Berbeda dengan daya komunikasi yang perlu di ungkapkan , daya nalar kalimat tanya dapat hidup subur dalam ke-di-am-an manusia . Diam bukan berarti tidak berpikir . Mulut terkunci , tetapi pikiran terus bergerak . Sekedar contoh , rakyat Indonesia semasa Orde baru dikenal sebagai “ masyarakat diam ” ( silent community ) – atau disebut Arief Budiman sebagai “ masyarakat ketakutan ” . Demi menyelamatkan diri dari represi negara yang otoriter , rakyat memilih diam . Diam adalah emas . Prinsipnya : ABS “ asli ” ( asal bapak senang ) . Namun , sejatinya nalar tetap menjalar , hasrat berpikir terus bergulir , meski terus dibatin . Dalam keadaan “ normal ” , habitus membatin seyogianya dipupus , sebab menyuburkan kemunafikan kolektif dan otoritarianisme . Jadi , diam agaknya tidak selalu emas .
Daya refleksi
Menurut Montigue , La plus grande chose du monde c’est de scavoir etre a say . Masalah paling sulit ialah mengenal diri sendiri . Karena itu , berani bertanya tentang diri menunjukan kearifan mausia . dalam olah spiritual , lazimnya kita di pandu pertanyaan sederhana “siapakah aku ?” , “apa kekuatanku ?” , “apa kelemahanku ?” . Akhirnya , “ aku dimana dan akan menuju kemana ? ( visi hidup ) ” .
Lagi lagi , kalimat tanya memperlihatkan dayanya , yakni daya refleksi . Refleksi menyehatkan jiwa lalu raga manusia . Dalam ranah social-politik dan kehidupan bersama , refleksi diri secara kolektif pun perlu di lakukan demi menjaga kesehatan jiwa raga kolektif masyarakat .
Situasi Indonesia mutakhir seharusnya menginkubasi kalimat kalimat tanya reflektif-kolektif mulai dari “Apakah aku menaruh sampah di tempatnya ?” , “Apakah aku menghemat BBM dan listrik ?” , “Apakah aku mencuri hak orang lain ?” .
John F Kennedy menyodorkan pemandu untuk refleksi diri kolektif sebagai bangsa , “Janganlah tanyakan apa yang telah Negara berikan kepadamu , tetapi tanyakan apa yang telah kau berikan kepada negaramu !” .
Hidup dan karya Romo Mangun boleh jadi di gerakkan imperasi JFK . Yang pasti , habitus bertanya mengasah kemanusiaan manusia dan menjadi fondasi peradaban . Atau , kita masih mempertanyakan kebenaran simpulan ini ?
Tuesday, February 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment